Beranda | Artikel
10 Kaidah dalam Menyucikan Jiwa (Bag. 11): Mengenali Hakikat Jiwa
Jumat, 4 Januari 2019

Baca pembahasan sebelumnya 10 Kaidah dalam Menyucikan Jiwa (Bag. 10): Waspada Dari Sikap Ujub

Kaidah kesepuluh: Mengenali hakikat jiwa

Di antara keharusan dalam menyucikan jiwa adalah mengenali hakikat jiwa ini, mengetahui sifat-sifatnya, sehingga mudah untuk melindungi, menjaga, dan mengobatinya dari penyakit yang masuk ke dalamnya.

Allah Ta’ala telah mendeskripsikan jiwa manusia dalam Alquran Al-Karim dengan tiga sifat yang telah umum dan diketahui. Sifat-sifat ini kembali kepada keadaan jiwa. Ketiga sifat jiwa tersebut adalah:

An-Nafs Al-Muthma’innah, yaitu jiwa yang mantap dengan keimanan, mengingat Allah Ta’ala, beribadah dan selalu kembali kepada Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya,

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 28)

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ؛ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً ؛ فَادْخُلِي فِي عِبَادِي؛ وَادْخُلِي جَنَّتِي

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam kumpulan hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr [89]: 27-30)

Baca Juga: Al-Quran Obat Fisik dan Jiwa

An-Nafs Al-Lawwaamah, yaitu jiwa yang mencela pemiliknya karena melakukan dosa (kesalahan), meremehkan kewajiban atau ketaatan, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ

“Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).” (QS. Al-Qiyamah [75]: 2)

An-Nafs Al-Ammaarah bis Suu’, yaitu jiwa yang mendorong pemiliknya untuk mengerjakan hal yang haram; melakukan dosa; menuntunnya menuju tempat-tempat yang mungkar dan hina; serta memotivasinya untuk melakukan hal-hal yang jelek dan hina, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي

“Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS. Yusuf [12]: 53)

Ketiga sifat jiwa ini pada dasarnya adalah kondisi-kondisi yang berkaitan dengan jiwa. Oleh karena itu, kondisi-kondisi ini bisa berubah-ubah sesuai dengan apa yang dialami oleh jiwa manusia. Dan terkadang ketiga kondisi ini terdapat dalam manusia pada saat yang sama sesuai dengan kondisi jiwa itu sendiri.

Baca Juga: Inilah Obat Penenang Jiwa

Para ulama telah membuat permisalan yang dapat menjelaskan kondisi jiwa dalam diri manusia agar mudah dipahami seseorang, sehingga setelah itu dia mampu bersungguh-sungguh memperbaiki dan menyucikan jiwanya.

Berikut ini ringkasan dua permisalan yang dijelaskan dua ulama yang mulia.

Pertama, permisalan yang dibuat oleh Imam Al-Aajuri rahimahullahu Ta’ala dalam kitab “Adaabun Nufuus.” Beliau berkata,

“Aku membuat permisalan untuk kalian yang mudah dipahami, insya Allah. Sesungguhnya jiwa manusia itu seperti anak kuda yang bagus. Jika seseorang memandangnya, dia akan terpesona dengan kebagusan dan keindahannya. Pakar perkudaan akan berkata tentangnya, “Anak kuda ini belum bisa ditunggangi sampai dijinakkan dan dilatih dengan baik. Ketika hal itu telah dilakukan, maka kuda ini akan bisa dimanfaatkan, bisa diperintah dan ditunggangi. Orang yang menungganginya pun akan memuji hasil penjinakan dan pelatihan anak kuda tersebut. Jika anak kuda tersebut tidak dilatih, maka tidak bisa dimanfaatkan, dan orang yang menungganginya pun akan kecewa ketika memanfaatkannya.”

Jika pemilik anak kuda tersebut menerima nasihat pakar tersebut, dia akan mengetahui bahwa ini adalah perkataan yang benar. Dia pun akan membawanya ke seorang yang ahli menjinakkan atau melatih kuda.

Kemudian, seseorang tidaklah mungkin bisa menjadi pelatih kuda yang baik kecuali dia memiliki ilmu bagaimana melatih kuda yang juga disertai kesabaran. Jika pelatih tersebut memiliki ilmu melatih kuda, maka pemilik kuda akan bisa memanfaatkan kudanya.

Jika pelatih kuda tersebut tidak memiliki ilmu tentang melatih dan menjinakkan kuda, maka ia hanya akan merusak anak kuda tersebut, membuat dirinya sendiri letih dan orang yang menunggang kuda tersebut juga tidak akan memuji hasil latihannya.

Baca Juga: Untukmu yang Berjiwa Hanif

Jika pelatih kuda tersebut memiliki ilmu tentang melatih dan menjinakkan kuda, namun tidak memiliki kesabaran dalam menghadapi masa-masa sulit melatih kuda, ingin enaknya sendiri, dan tidak semangat dalam melaksanakan kewajibannya melatih kuda, maka anak kuda itu pun akan menjadi rusak dan jelek, tidak bisa diperintah, tidak bisa juga ditunggangi. Hanya enak dipandang, namun tidak bisa apa-apa.

Jika pemiliknya adalah pelatihnya itu sendiri, dia akan menyesal karena kecerobohannya, pada hari dimana tidak bermanfaat lagi penyesalan, yaitu ketika dia melihat orang lain saat memerintah kudanya, dan perintah itu dilaksanakan, dan di saat ketika kuda itu ditunggangi, kuda itu bisa berjalan dengan baik dan selamat. Sedangkan ketika dia memerintah kudanya sendiri, tidak dilaksanakan, dan ketika dia menunggangi kudanya, namun celaka. Semua itu karena kecerobohannya dalam melatih kuda dan minimnya kesabaran, padahal dia mengetahui ihwal perkudaan.

Kemudian dia pun berbicara kepada jiwanya sendiri, sembari mencela, dia berkata, “Mengapa engkau ceroboh dan lalai? Seluruh yang aku benci berbalik kepadaku karena minimnya kesabaranku.” Wallahul musta’an.

Semoga Allah Ta’ala merahmatimu, renungkanlah permisalan jiwa ini, dan pahamilah, semoga engkau beruntung dan selamat.” (Adaabun Nufuus, hal. 261 karya Al-Aajuri)

Inilah permisalan pertama yang dijelaskan oleh Imam Al-Aajuri rahimahullahu Ta’ala tentang jiwa manusia, bahwa jiwa manusia itu seperti anak kuda yang membutuhkan latihan dan kesabaran dalam melatihnya. Latihan tersebut pun hendaknya didasari pengilmuan terhadap perkara-perkara yang dapat memperbaiki dan menyucikan jiwa manusia. Jika seseorang ceroboh atau meremehkan ilmu dan latihan tersebut, niscaya dia akan sangat menyesal

Baca Juga: Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan Penyucian Jiwa (1)

Kedua, permisalan yang dibuat oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu Ta’ala. Beliau berkata,

“Jiwa itu seperti gunung besar yang merintangi orang yang menempuh jalan menuju Allah Ta’ala. Tak ada jalan lain bagi mereka kecuali dengan melewatinya. Akan tetapi, di antara mereka ada yang merasa berat menghadapinya, dan ada juga yang merasa mudah, karena sesungguhnya perjalanan itu mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah Ta’ala.

Sesungguhnya, di gunung itu ada lembah, bukit, jurang, tanaman berduri dan beracun, perampok yang membegal di jalan, lebih-lebih orang yang berjalan di malam hari yang gelap gulita.

Jika mereka tidak memiliki bekal keimanan, lentera keyakinan yang dinyalakan dengan minyak perendahan diri, niscaya berbagai penghalang tersebut akan merintangi dan menyulitkan mereka, sehingga menghalangi perjalanan tersebut.

Sesungguhnya mayoritas orang yang berjalan kepada Allah Ta’ala, akan berbalik ke belakang karena tidak mampu menaklukannya dan tidak mau bersusah payah.

Setan yang berada di atas gunung memperingatkan manusia bahwa gunung tersebut sulit didaki dan dinaiki, ia menakut-nakuti mereka. Maka berkumpullah menjadi satu: pendakian yang sulit; hasutan setan yang duduk di puncak gunung, menakut-nakuti manusia bahwa hanya sedikit yang mampu mendaki; dan lemahnya tekad dan niat orang yang berjalan kepada Allah Ta’ala. Hal itu menyebabkan mereka putus asa dan kembali, kecuali mereka yang berada dalam penjagaan Allah Ta’ala.

Baca Juga: Cara Menuju Kesucian Jiwa

Setiap kali orang tersebut terus mendaki gunung, maka gangguan, ancaman, dan teror semakin gencar. Jika pendaki tersebut mampu mengatasinya dan mencapai puncak gunung, maka berubahlah semua ketakutan tadi menjadi rasa aman, ketika itu perjalanan terasa mudah, hilanglah gangguan-gangguan dan kesulitan di jalan, dia melihat jalan yang luas dan aman, yang mengantarkan ke tempat singgah dan tempat minum, yang di atasnya terdapat penanda dan di dalamnya terdapat tempat tinggal yang disiapkan untuk orang-orang yang menuju kepada keridaan Allah Ta’ala, Zat Yang Maha Penyayang.

Penghalang antara hamba dan kebahagiaan/kesuksesan adalah adanya tekad yang kuat, kesabaran yang besar, keberanian jiwa, dan keteguhan hati. Semua itu adalah karunia Allah Ta’ala yang berada di Tangan-Nya dan diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Allah yang memiliki keutamaan yang agung.” (Madaarijus Saalikiin, 2: 10 karya Ibnul Qayyim)

Permisalan ini juga menggambarkan kondisi jiwa, bahwa jiwa itu membutuhkan perbekalan dan pengobatan yang diusahakan pemiliknya. Jika dia tidak bersungguh-sungguh memperbaiki jiwanya dengan metode yang sejalan dengan agama dan bersabar dalam menempuhnya, niscaya jiwa itu akan lepas kendali dan merugikan pemiliknya.

Baca Juga:

[Bersambung]

***

@Kantor Jogja, 22 Shafar 1440/ 31 Oktober 2018

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Referensi:

Diterjemahkan dari kitab ‘Asyru qawaaida fi tazkiyatin nafsi, hal. 37-43, karya Syaikh ‘Abdurrazaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullahu Ta’ala.

🔍 Hadits Asmaul Husna, Hukum Semir Rambut Hitam, Arti Jihat, Fungsi Ayat Kursi, Buaya Makan Buaya


Artikel asli: https://muslim.or.id/44419-10-kaidah-dalam-menyucikan-jiwa-bag-11.html